Kamis, 26 April 2012

Ciri-ciri Neo-liberalisme

oleh

Seperti liberalisme klasik, neo-liberalisme menolak nilai-nilai moral dan agama yang diangkapkan dalam slogan Hak Asasi Manusia. Masyarakat tidaklah penting, sebab yang asasi adalah kebebasan individu. Pendek kata sebagai doktrin ekonomi, neo-liberalisme menghendaki perluasan perdagangan bebas tanpa kontrol dan regulasi. Idea utamanya ialah persaingan bebas antara pemilik modal yang satu dengan yang lain. Tujuannya menciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi penguasa pasar, yaitu pemilik modal besar. Seperti dikatakan Marcos, pemimpin gerakan Zapatista di Meksiko, “Kaum neo-liberalis ingin menciptakan seluruh dunia menjadi Mall raksasa sehingga dengan mudah dapat membeli penduduk pribumi, wanita dan anak-anak mereka dengan harga murah sebagai tenaga kerja, berikut tanah milik dan sumber kekayaan alam mereka.”
Sebagai paham ekonomi jelas neo-liberalisme bukan suatu yang baru. Kebaruannya disebabkan penyebarannya yang begitu luas ke seluruh dunia,. Walau kata-kata tersebut jarang terdengar di AS, kata Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia (2005), dampak buruknya pada akhirnya dirasakan di negeri asalnya sendiri. Di sana yang kaya (20%) bertambah kaya, dan yang miskin (80%) bertambah-tambah miskinnya. Di seluruh dunia kebijakan neo-liberalis dipaksakan melalui tangan lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan dunia seperti IMF, ADB, WTO, IGGI (untuk Indonesia), Bank Dunia, dan lain-lain. Yang memicu lahirnya kembali liberalisme konomi ini ialah krisis kapitalis sepanjang 25 tahun terakhir, berupa anjlognya keuntungan yang mereka peroleh sejak awal dekade 1970an yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengagguran.
Istilah neo-liberalisme untuk pertama kali memang muncul di Amerika Latin, anak benua yang paling awal merasakan dampak buruknya. Sejak itu kaum intelektual negeri itu berkeyakinan bahwa kendati neo-liberalisme merupakan fenomena negara Barat kapitalis, namun yang paling menderita disebabkan dampaknya ialah negara-negara berkembang. Secara garis besar pendirian neo-liberalisme dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, ia merupakan paham yang menekankan pada kekuasaan pasar. Menurut paham ini adanya pasar bebas tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat akan memungkinkan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Reagan menyebutnya sebagai kebijakan ekonomi suply side, yaitu suatu kebijakan yang dapat mengucurkan kemakmuran secara cepat dan meluas dari atas ke bawah. Dalam perkembangannya terbukti bahwa kemakmuran menumpuk di atas, sedangkan milik yang di bawah semakin terkuras. Kesenjangan kaya dan miskin semakin menjadi-jadi. Jika terjadi krisis ekonomi, maka yang menanggung beban ialah mayoritas penduduk yang miskin,
Kedua, untuk meminimalkan peranan negara dilakukan pemotongan besar-besaran anggaran negara untuk sektor-sektor seperti pelayanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan juga kebudayaan dan keagamaan. Suplai dan subsidi bahan bakar dan air juga dikurangi, sehingga beban masyarakat bertambah berat. Biaya pendidikan dan kesehatan bertambah mahal.
Ketiga, deregulasi. Perusahan-perusahaan besar wajib mengenyampingkan regulasi dari pemerintah apabila keuntungan yang mereka peroleh berkurang. Dalam kaitan ini pasar mempunyai kekuasaan untuk mengatur opini dan pemikiran masyarakat, yaitu melalui media yang mereka miliki atau kuasai. Termasuk selera seni atau budaya. Pasar juga berusaha melakukan hegemoni penafsiran terhadap konstitusi, wacana keagamaan, politik, dan falsafah. Misalnya melalui LSM dan lembaga pendidikan yang mereka danai.
Keempat, privatisasi. Dengan privatisasi perusahaan negara terbuka peluang bagi investor asing untuk menguasai dunia perbankan , sarana transportasi, media informasi dan komunikasi, bahkan media cetak, elektronik, dan penerbitan buku, sekolah, lembaga penelitian sosial dan keilmuan, lembaga keagamaan, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan di banyak negeri berkembang seperti Indonesia, Filipina, Thailand, dan lain-lain neo-liberalisme sanggup menjadikan negara sebagai benar-benar sebuah pasar bebas.
Kelima, tak kalah penting ialah apa yang disebut penciutan komunitas-komunitas besar dalam masyarakat menjadi komunitas-komunitas kecil yang terpecah belah serta sukar terintegrasikan. Neo-liberalisme lihai menciptakan komunitas-komunitas kecil di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, keuangan, politik, bahkan dalam bidang keagamaan, seni, dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat kian terpecah belah.
Pada peringkat internasional, neo-liberalisme dapat disebut sebagai paham yang memberi tekanan kepada: (1) Keleluasan perdagangan barang komoditi dan jasa, termasuk film, hiburan, senjata, dan lain-lain kendati komoditi-komoditi tersebut menimbulkan kerusakan moral. Biasanya ini ditamengi dengan hiruk pikuknya wacana seperti kebebasan berekspresi, pluralisme, multikulturalisme, relativisme nilai, dan lain sebagainya; (2) Perputaran modal yang lebih bebas, dengan akibat hancurnya modal kecil dan menengah dibawah kekuatan modal besar; (3) Kebebasan menanamkan investasi dalam berbagai sektor kehidupan asal saja mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Termasuk di dalamnya sektor pendidikan, kesehatan, penerbitan buku, massmedia, telekomunikasi, transportasi, dan lain sebagainya.
Dalam bukunya La Mondialisation du capital (Penduniaan Modal) Dumeil dan Levy mengatakan bahwa neoliberalisme telah merebut kekuasaan negara di dunia melalui modal finansial. Tujuan kudeta itu ialah untuk merintangi negara-negara lain di dunia menjalankan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat. Karena itu ia juga menghalangi bangkitnya kembali nasionalisme, yang di dalamnya kebudayaan nasional dimungkinkan tumbuh dengan subur melalui kebijakan yang mandiri.

Rabu, 25 April 2012

Masa Depan UPI Bandung: Pasca Singgah di “Planet Neoliberalism”

Oleh

JAJA JAMALUDIN

Praktisi Pendidikan dan Alumni UPI Bandung 1998

Sulit dibantah bahwa perubahan status sejumlah perguruan tinggi termasuk universitas Pendidikan Indonesia, (UPI Bandung) ke BHMN bersih dari virus neoliberalisme pendidikan. Setidaknya, pelanggaran atas amanah konstitusi UUD 1945 tentang tanggung jawab Negara atas hak pendidikan warga Negara jelas telah dibuktikan dan diruntuhkan oleh realitas ideology kultural masyarakat-bangsa kita. Keganjilan dan ketidak cocokkan atas bias orientasi idiologi pendidikan itu makin kentara pada tataran praksis tak-terbantahkan dalam wujud fakta kastanisasi mahasiswa yang sejatinya sebagai insan akademik. Seperti dikemukakan Prof HAR Tilaar dalam Pembaharuan 15/3/2007, bahwa Pengalihan status sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), adalah bentuk lain dari neoliberalisme di bidang pendidikan. Dengan pendekatan neoliberalisme itulah, pemerintah secara sadar dan sistematis menutup akses orang miskin untuk menikmati pendidikan dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD) sekolah Menengah sampai perguruan tinggi. Dia menegaskan, sejak awal menolak pembentukan BHMN pada PTN, karena napasnya mengabaikan semangat dan nilai-nilai UUD 1945.

Pakar pendidikan lainnya Darmaningtyas yang juga Pengurus Majelis Perguruan Taman Siswa menilai, BHMN menutup akses orang miskin ke PTN (Pembaruan, 14/3/2007). Bahkan pakar pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad menilai, BHMN telah menghambat demokrasi dan pemerataan pembangunan di bidang pendidikan (Pembaruan, 15/3/2007). Saat itu, Darmaningtyas dan Winarno pun mengingatkan agar para rektor PTN lainnya yang belum berstatus BHMN untuk mengambil hikmah dari realitas selama ini. Keduanya menyarankan agar BHMN ditinjau kembali dan BHP yang kini masih dalam bentuk BHP ditolak saja sebelum menjadi UU, karena BHP justru akan memperparah sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Seluruh tesis pakar tersbut telah terbukti dan sulit dibantah bahwa BHMN telah menyeret haluan idiologi pendidikan Negara ini ke jurang Liberalisasi pendidikan.

Dalam sebuah paparannya, Eko Prasetyo, menyebutkan bahwa salah satu ciri dari dari Neolibelarisasi adalah Negara absen dalam layanan public seperti pendidikan dan kesehatan. Benar, bahwa BHMN, masih milik Negara tetapi infiltrasi virus karakterik neolib tampak jelas bersarang dan terbaca jelas dalam lepas tangannya negera/pemerintah dalam pendanaan layanan public pendidikan. Sebagai, penggantinya adalah peranserta masyarakat justru harus ikut membayar biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pada saat yang sama secara sistematis juga tak terbantahkan bahwa implikasi dari perubahan status itu adalah kastanisasi status mahasiswa yang berbasis pada kemampuan dan daya beli mahasiswa atas layanan pendidikan. Akibatnya masyarakat dengan kemampuan ekonomi tak berdaya, pasti termarjinalkan bahkan tertutup rapat tidak dapat menikmati layanan public berupa pendidikan tinggi.

KEMBALI KE PANGKUAN PERTIWI

Kini, dengan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2012. Keduanya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 April lalu, UPI telah kembali menjadi perguruan Tinggi yang dikelola penuh oleh pemerintah. Sebagaimana dikatakan Republika, edisi 24/4/2012, menyebutkan bahwa kedua Perpres itu menegaskan semua kekayaan, mahasiswa, hak dan kewajiban ITB dan UPI sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara menjadi kekayaan, mahasiswa, hak, dan kewajiban ITB dan UPI sebagai perguruan tinggi yang dikelola oleh Pemerintah.

Ibarat sebuah wilayah yang lepas dari NKRI secara fisik, maka perguruan tinggi yang beralih status BHMN, dalam perspektif haluan idiologi pendidikan Negara, maka PT tersebut nyata-nyata tidak beridiologi murni idiologi pendidikan Negara atau melepaskan diri dari idiologi pendidikan. PT yang ber-BHMN tengah meminjam identitas idiologi liberalis yang menghambakan diri pada mekanisme daya beli.

Hegemoni kekuasaan dan birokrasi pendidikan, telah menjadi bala tentara yang digerakkan oleh idiologi liberalis dalam pendidikan. Para petinggi perguruan tinggi di berbagai PT yang lebay untuk ber-BHMN sangat proaktif menjadi justifikator atas halalnya pemurtadan idiologi pendidikan oleh perguruan tinggi dengan cara melepaskan ruh idiologi pendidikan sebagaimana amanat pancasila dan UUD 1945.

Hari-hari ini dan kedepan UPI (dan ITB) telah kembali ke pangkuan idiologi pendidikan sejati pancasila dan UUD 1945 yang bukan liberalism. Dinding tembok idiologi sejati ternyata berada pada kekuatan kultuteral masyarakat-bangsa bukan pada kekuasaan dan birokrasi yang cenderung korup dan penghianat atas amanah konstitusi idiologi pendidikan. Lebih dari 12 tahun masyarakat pendidikan diajak eksperimentasi menyaksikan dan merasakan serta menonton kelinci percobaan perguruan tinggi “dipaksa” berBHMN.

Kedepan UPI, sejatinya lebih mencermati dan mengejawantahkan amanah konstitusi atas kewajiban negera dan bangsa terhadap hak-hak dasar rakyat atas pendidikan. UPI kedepan seyogyanya sebagaimana dalam Perpres Nomor 43 Tahun 2012 disebutkan, bahwa UPI menyelanggarakan tridarma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, UPI menyelenggarakan pendidikan akademik, dan/atau pendidikan vokasi dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

“UPI mengembangkan disiplin ilmu pendidikan, pendidikan disiplin ilmu, dan disiplin ilmu lain yang menunjang pelaksanaan disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu,” tulis Pasal 2 ayat 3 Perpres Nomor 43 Tahun 2012.

Dengan ditetapkannya sebagai perguruan tinggi pemerintah, maka pembiayaan penyelenggaraan UPI bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain dari APBN, UPI dapat menerima dana dari sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan harus menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum.

Lebih dari itu, yang amat krusial dari perubahan status, ini UPI harus menunjukkan sebagai kampus rakyat untuk mencerdaskan bangsa dan menjadi garda terdepan dan paling progresif dalam menunaikan amanah konstitusi melaksanakan tugas negera dalam pendidikan. Untuk itu, UPI sejatinya mengedepankan good gavernance dalam pengelolaan pendidikan perguruan tinggi. Jangan pernah terdengar satu katapun dalam pandangan public civitas akademika UPI tersandung korupsi, plagiat serta salah urus manajemen pendidikan tinggi. Jangan sampai, para alumni UPI Bandung menutup mata dan membuang identitas lulusan UPI, hanya gara-gara para pemangku amanah pengelola UPI terlibat korupsi, plagiarism yang sungguh tak terpuji. UPI sejatinya konsisten menjadi kawah chandradimuka bagi para calon pendidik bangsa. Jangan lagi UPI mengalami ambivalensi sikap dan idiologi institusi yang hanya mempertontonkan kegamanangan lulusannya di masyarakat. Wallahu a’lam.